Tri Ayu Suryani
Abstrak:
Anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar
menghitung bukan karena kerusakan pada organ artikulasinya melainkan mengalami keterbelakangan
mental. Saat ini banyak
permainan tradisional yang semakin lama semakin menghilang berganti dengan
mainan yang lebih modern namun tidak mendidik. Salah satu permainan tradisional
yang memiliki manfaat dan dapat di gunakan sebagai media pembelajaran
matematika adalah dakon atau congklak khususnya untuk pembelajaran matematika pada tunagrahita.
Melalui media permainan dakon diyakini akan meningkatkan sedikit demi sedikit keterampilan berhitung anak
tunagrahita.
Kata Kunci: Tunagrahita, ketrampilan berhitung tunagrahita, pembelajaran matematika, permainan dakon.
Abstract:
Children
who mentally disabled get some difficulties in mathematics not because of the damage
of their articulator organs but their mental disorder. Nowadays, there are so
many traditional games which no longer exist. Modern games consisting of uneducated
values will replace them sooner. One of the traditional games that
haveadvantages and can be used as a media for teaching and learning mathematics
is dakon or congklak, particularly for mental disability children.
Through this media, that it will raisetheir mathematic skill gradually.
Key Words: mental
disability, mathematics skill of mental disability children, mathematics
teaching, congklak game.
Menurut Hallahan dan Kauffman dalam Wardani
(2007), “Tunagrahita adalah kelainan atau hambatan yang mengacu pada fungsi
intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata
(normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian dan
berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya”.
Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami kelainan atau
hambatan yang mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata
(signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan
dalam tingkah laku penyesuaian dan berlangsung (termanifestasi) pada masa
perkembangannya.
Gangguan atau hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita berbeda-beda
tingkatan kecerdasannya dan kelainan jasmani yang dialami atau disebut dengan
tipe klinis. Terdapat tiga tingkat kecerdasan atau tiga dalam tunagrahita yaitu (1) mild mental retardation (tunagrahita
ringan IQ 70-55), (2) moderate mental
retardation (tunagrahita sedang IQ 55-40), Severe mental
retardation (tunagrahita berat IQ 40-25), (3)profound mental retardation (IQ 25
kebawah). Sedangkan pengelompokan berdasarkan kelainan jasmani ada lima jenis
yaitu down syndrome (mongoloid), kretin (cebol), hydrocepal, microcepal, dan macrocepal. Penyebab mengalami
tunagrahita sangatlah beragam.
Faktor genetik dan kromosom, penyebab pada pra kelahiran,
penyebab pada saat kelahiran, penyebab-penyebab selama masa perkembangan
anak-anak dan remaja juga menjadi beberapa faktor yang menjadi penyebab
tunagrahita. Ketunagrahitaan yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja adalah
adanya penyakit radang selaput otak (meningitis)
dan radang otak (encephalitis)yang
tidak tertangani dengan baik sehingga mengakibatkan kerusakan otak. Selain itu
terjadi kecelakaan yang menyebabkan cedera otak pada masa perkembangan dapat
mengakibatkan ketunagrahitaan. Faktor gizi yang jelek atau keracunan dapat juga
merusak otak. Hal-hal diatas merupakan penyebab seorang anak dapat mengalami
hambatan intelektual atau yang disebut tunagrahita.
Dalam pembelajaran seorang guru dapat
melakukan bermacam tindakan yang dapat mengembangkan fungsi fisik,
sensomotorik, daya khayal, bina diri, sosialisasi, dan pengembangan intelektual
anak tersebut. Oleh sebab itu anak tunagrahita harus mendapatkan pendidikan dan
penanganan khusus agar dapat berkembang dan mandiri.
Selain mengalami hambatan kecerdasan juga mengalami kesulitan dalam bahasa
dan bicara. Kesulitan ini disebabkan karena anak tunagrahita seringkali tidak dapat
mencerna stimulasi verbal maupun nonverbal dari lingkungan. Guru perlu
memperhatikan tahap-tahap perkembangan materi yang akan disampaikan pada
kegiatan belajar mengajar (KBM) untuk anak tunagrahita. Tahap-tahap ini
diperlukan agar kegiatan belajar mengajar (KBM) dapat berjalan dengan maksimal
dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai sebelum kegiatan dimulai. Salah satu
cara yaitu dengan melibatkan siswa tersebut aktif dalam proses pembelajaran, di
samping itu guru dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan materi diantaranya
melalui penggunaan media sebagai alat penunjang keberhasilan dalam pembelajaran.
Faktor perkembangan kognitif mempunyai peranan sangat penting bagi
keberhasilan belajar anak, karena sebagian besar pembelajaran di sekolah selalu
berhubungan dengan mengingat dan berpikir yang termasuk kegiatan kognitif.
Kognitif meliputi proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan dan
dimanfaatkan. Anak tunagrahita mempunyai kognitif yang relatif rendah sehingga
mereka sangat sulit untuk mengigat pengetahuan yang didapat. Selain kognitif
mereka yang rendah mereka juga sulit dalam berbicara dengan orang lain atau pun
berbahasa secara baik.
Selain pembelajaran yang melibatkan bahasa, kemampuan
yang perlu didapatkan oleh anak tunagrahita adalah pembelajaran berhitung.
Teori kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan
bukanlah suatu unsur yang beraspek tunggal, melainkan terdiri dari berbagai
unsuratau kemampuan yang bersifat khusus (general ability dan special ability). Kemampuan umum dimaksud
adalah rangkuman dari berbagai kemampuan pada bidang tertentu, sedangkan
kemampuan khusus adalah kemampuan yang dimiliki pada bidang-bidang tertentu,
seperti kemampuan berhitung, bahasa, pengamatan ruang, dan lain-lain (Efendi, 2009: 96).
Kehidupan sehari-hari sangat membutuhkan kemampuan
berhitung seseorang untuk memecahkan sesuatu, sehingga anak tunagrahita juga
membutuhkan pembelajaran tersebut untuk menunjang kehidupan sehari-harinya. Di
sekolah pembelajaran tersebut masuk dalam mata
pelajaran matematika atau ilmu berhitung.
Kenyataan yang muncul di lapangan, seorang guru kurang memperhatikan
tahapan-tahapan belajar anak khususnya untuk anak tunagrahita. Seorang guru
biasanya langsung membawa anak dalam tahap belajar abstrak akibatnya anak
mengalami kesulitan karena ada tahap yang dilupakan.
Dalam mengajarkan keterampilan berhitung anak tunagrahita
sebagaimana dikemukakan oleh Efendi, (2009: 100) bahwa, “Satu hal yang perlu dipahami bagi guru,
langkah yang pertama sebelum mengajarkan hal-hal yang lebih besar, sedapatnya
diajarkan untuk menyebutkan namanya”. Pendapat tersebut membuktikan bahwa dalam
mengajarkan anak tunagrahita dalam keterampilan berhitung harus melalui
tahapan-tahapan belajar yang meliputi tiga tahapan yaitu, tahapan konkrit
(tahap yang sederhana), semi konkrit (tahap dimana seorang anak ditunjukan
dengan benda-benda yang konkrit), dan abstrak (tahap dimana seorang anak
belajar dengan simbolis). Kedudukan dan peran berhitung dalam akademik dan
kehidupan sangat penting. Oleh karena itu keterampilan berhitung harus dikuasai
oleh setiap siswa sejak dini agar siswa menjadi terampil dan dapat menggunakan
ilmu hitung dalam kehidupan sehari-hari.
Pelajaran matematika atau berhitung
untuk sebagian anak tunagrahita dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan.
Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum siap atau ada
faktor lain yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar atau ada
masalah intrinsik dalam diri siswa, misalnya ada gangguan konsentrasi, gangguan
persepsi dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu matematika bahwa
di dalam proses keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan
kemampuan kognitif untuk berpikir logis dan analitis, “...sehingga bagi yang
bermasalah dalam kemampaun kognitifnya maka akan mengalami masalah ketika belajar
matematika atau berhitung” (Runtukahu, 1996: 86).
Sebuah proses pembelajaran guru bukanlah satu-satunya yang dapat dijadikan
narasumber. Sebab salah satu peran guru adalah dalam proses belajar adalah
sebagai fasilitator dan mediator. Konsekuensinya sebagai seorang mediator, guru
hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang media pendidikan karena
merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Gagnedalam Rachmad (2009) mengartikan, “Media adalah berbagai jenis
komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar”. Fungsi
utama dari media adalah untuk membantu terbentuknya persepsi secara benar.
Pemanfaatan
media permainan dakon sebagai salah satu media dalam pendidikan telah menjadi
hal yang jarang pada saat ini. Peranan dakon dalam kegiatan pembelajaran
matematika memberikan peranan yang cukup besar
sebagai salah satu faktor eksternal yang mampu mempengaruhi hasil
belajar siswa. Pembelajaran dengan media belajar dakon dapat diberikan kepada
semua siswa dengan berbagai macam perbedaan dan kebutuhan. Terutama pada anak tunagrahita.
PEMBAHASAN
Ketrampilan Berhitung Anak Tunagrahita
Bentuk hambatan belajar anak tunagrahita yang berkaitan
dengan keterampilan berhitung meliputi semua aspek keterampilan berhitung,
mulai dari pengenalan konsep bilangan dan lambang bilangan hingga operasi
hitungan. Anak tunagrahita sedang
mengalami kesulitan pada semua aspek keterampilan berhitung disebabkan
kecerdasannya yang sangat terbatas sehingga mereka kesulitan untuk mempelajari
hal-hal yang bersifat akademik, diantaranya keterampilan berhitung.
Pelajaran matematika atau berhitung
untuk sebagian anak tunagrahita dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan.
Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum siap atau ada
faktor lain yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar atau ada
masalah intrinsik dalam diri siswa, misalnya ada gangguan konsentrasi, gangguan
persepsi dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu matematika bahwa
di dalam proses keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan
kemampuan kognitif untuk berpikir logis dan analitis, “...sehingga bagi yang
bermasalah dalam kemampaun kognitifnya maka akan mengalami masalah ketika belajar
matematika atau berhitung” (Runtukahu, 1996: 86)
Keterampilan matematika atau berhitung
tetap harus dipelajari oleh setiap anak agar menjadi bekal hidupnya di masa
depan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa hampir dalam setiap kehidupan manusia
membutuhkan kemampuan berhitung. Melalui keterampilan berhitung diharapkan anak
mampu memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan nyata yang membutuhkan
keterampilan matematika atau berhitung.
Bagi anak-anak tunagrahita sedang,
mereka juga perlu belajar berhitung. Namun tentunya pelajaran berhitung yang
disampaikan kepada anak tunagrahita sedang berbeda dengan pelajaran matematika
atau berhitung pada umumnya. Materi pelajaran berhitung bagi anak tunagrahita
sedang harus lebih kongkrit dan sesuai dengan kebutuhannya. Jika sesuai dengan
hal itu maka mereka pun dapat mengikuti pelajaran berhitung dengan baik.
Akan tetapi, bukan berarti lemah dalam
aspek akademik lalu mereka tidak bisa berprestasi baik dalam kegiatan-kegiatan
sekolah lainnya. Dengan latihan yang rutin terutama dalam hal-hal yang sifatnya
non akademik dan sederhana, mereka masih dapat dilatih dan dapat melakukannya
dengan baik. Rahardja (2006).
“Meskipun mereka mengalami hambatan
dalam keterampilan berhitung, anak tunagrahita sedang masih dapat dikembangkan
potensi/kemampuan berhitungnya melalui media pembelajaran menggunakan permainan
congklak”. Menurut Abaz (2012)
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwasanya meskipun individu mengalami hambatan dalam berhitung akan tetapi individu
yang mengalami hambatan tunagrahita sedang juga masih ada kemampuan/potensi
yang masih bisa dikembangkan dalam berhitungnya dengan menggunakan permainan congklak
Media pembelajaran congklak
Gagne menyatakan belajar terjadi apabila situasi stimulus bersama dengan isi
ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu
sebelum ia mengalami situasi itu kewaktu sesudah ia mengalami situasi tadi.
Selanjutnya menurut Morgan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relative menetap
dalam tingkah laku yang terjadi sebagai sesuatu hasil dari latihan atau pengalaman
(M. NgalimPurwanto, 1997: 84).
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
elemen yang sangat penting yang menjelaskan pengertian tentang belajar yaitu:
(a) Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan itu dapat
mengarah kepada tingkah laku yang baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada
tingkah laku yang lebih buruk. (b) Belajar merupakan suatu perubahan yang
terjadi melalui latihan atau pengalaman, dalam arti perubahan-perubahan yang
disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar,
seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
Kata Pembelajaran dipakai sebagai padanan kata dari kata Bahasa Inggris yaitu
instruction. Kata instruction mempunyai pengertian yang
lebih luas dari pada pengajaran. Jika kata pengajaran di dalam konteks guru dan
murid di ruang kelas (formal), pembelajaran atau instruction mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri
guru secara fisik. Oleh karena dalam instruction
yang ditekankan adalah proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam
memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa
kita sebut pembelajaran (Sadiman, 1989: 7)
Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan
dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses pembelajaran banyak berakar pada
berbagai pandangan dan konsep. Oleh karena itu, perwujudan proses dapat terjadi
dalam berbagai model. Bruce Joicedan Marshal Weil mengelompokkan kedalam empat hal
yang berkaitan dengan proses pembelajaran yaitu : (a) Proses Informasi, (b)
Perkembangan Pribadi, (c) Interaksi Sosial, (c) Modifikasi Tingkah Laku (Moh. Uzer Usman, 1995: 1)
Dari Uraian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata media
dan proses pembelajaran adalah satu kesatuan
yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam proses pembelajaran.
Untuk itu, dalam proses pembelajaran sangat perlu disediakan media atau alat peraga
yang efektif dan efisien untuk dapat mengurangi verbalisme siswa dalam memahami
materi pelajaran yang diberikan oleh guru.
Untuk menciptakan kegiatan belajar mengajar yang baik, guru dan siswa harus
bersama-sama aktif sehingga proses pembelajaran tidak membosankan. Keaktifan siswa meliputi siswa
tertarik akan materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Dalam hal keaktifan
guru, maka guru harus dapat membangkitkan minat dan mendorong semangat siswa
untuk bertanya dan mencoba melakukan sesuatu yang ada hubungannya dengan
pelajaran yang dihadapi. Dengan demikian suasana kelas akan lebih terasa hidup
karena terjadi komunikasi multi arah antara guru dengan siswa dan siswa dengan
siswa.
Media pembelajaran sangat penting pada proses pembelajaran. Guru berperan
penting dalam memanfaatkan media dan sumber belajar tersebut, (Dimyati, 2009: 36). Yang penting adalah keterlibatan anak dalam
melakukan kegiatan tersebut, bukan prestasi (Mayke, 1995: 92). Karena ketika anak merasa senang maka selanjutnya
kegiatan pembelajaran dimungkinkan akan berjalan lancar dan sesuai yang
diharapkan.
Untuk anak tunagrahita media pembelajaran yang sesuai adalah yang
berhubungan dengan permainan. Freun berpendapat bahwa bermain merupakan cara
seeorang untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan yang kompleks, merugikan,
melalui kegiatan bermain perasaan menjadi lega, bebas dan berarti. Mengingat
urgensinya bermain untuk anak tunagrahita, dewasa ini aktifitas bermain
dikembangkan menjadi play therapy. Terapi
permainan yang diperuntukan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan
tetapi harus sesuai kondisi fisik dan psikisnya.
Memilih format belajar pada anak, Dr. Coolie Verner
membedakan tiga elemen dalam proses pendidikan, yang mempunyai fungsi yang
berbeda (1) Metode, yaitu suatu pengorganisasian peserta untuk tujuan
pendidikan. (2) Teknik, yaitu bermacam cara dimana
tugas-tugas belajar diatur untuk memfasilitasi belajar. (3) Alat, yaitu segala sesuatu atau kondisi yang didayagunakan untuk
meningkatkan teknik dan membuat belajar lebih terarah (Zainudin arif, 1986: 43,44) .Yang
mana Teknik dalam permainan dakon ini sangat lah mudah untuk dilakukan
atau bisa dibilang tidak rumit sehingga mudah untuk meningkatkan ketrampilan
berhitung. Melihat anak tunagrahita adalah anak yang tidak suka dengan
keribetan, kemudian alat dakon ini sangat mudah untuk dipermainkan dan alat ini bisa mengambangkan ketrampilan
berhitung anak.
Permainan dalam pembelajaran
matematika disekolah bukan untuk menerangkan melainkan suatu cara atau tehnik
untuk mempelajari atau membina ketrampilan dari suatu materi tertentu. Secara
umum cocok untuk membantu mempelajari fakta dan ketrampilan. Beberapa pakar
pendidikan mengatkan bahwa tujuan utama digunakan permainan dalam pembelajaran
matematika adalah untuk memberikan motivasi kepada siswa agar menjadi senang.
Apabila guru berniat merencanakan kegiatan permainan matematika dalam
pembelajaran, maka guru perlu mengkaji topic
yang tepat untuk kegiatan yang didukung oleh permainan. Dari hasil kajian
tersebut guru dapat memilih atau mengidentifikasi permainan yang bertujuan
meningkatkan ketrampilan matematika dan digunakan dalam waktu serta situasi
yang tepat (Sukayati,
2003: 14).
Alat peraga
permainan dakon dapat digunakan siswa untuk memahami operasi hitung terutama
penjumlahan dan pengurangan. Selain itu, permainan dakon memiliki manfaat lain
yaitu, strategi:
dakon menuntut pemain memikirkan pilihan agar bisa memenangkan
permainan. Kesabaran: pemain
khususnya yang tidak sedang bermain/melangkah harus bersabar menunggu lawannya
melakukan kesalahan sehingga tiba gilirannya, pemain yang sedang bermain juga
harus bersabar memasukkan satu per satu biji-bijian dalam lubang. Ketelitian: pemain yang sedang
bermain harus teliti dalam memasukkan biji dakon satu per satu dalam lubang,
sedangkan pemain yang sedang tidak bermain/melanghkah juga harus teliti
mengawasi/memastikan biji-bijian di masukkan satu per satu dalam lubang jangan
sampai lawan melakukan kecurangan. Dengan begitu congklak melatih motoric sekaligus sensorik.
Congklak adalah permainan tradisional yang diambil dari bahasa jawa. Dalam bahasa
indoneia disebut permainan congkak atau congklak. Congklak adalah lokan yang
dipakai untuk permainan, ada bermacam-macam seperti baiduri; putih, dsb.
permainan dengan kulit lokan (biji-bijian, dsb.) dan kayu yang bentuknya
seperti perahu yang berlubang-lubang (dijawa disebut dakon); buah, biji-bijian
(kulit lokan, dsb.) yang dipakai dalam permainan congkak; papan, kayu bentuknya
seperti perahu berlubang-lubang untukk
bermain congkak.
Permainan congkak
merupakan permainan yang dimainkan oleh dua orang yang biasanya perempuan. Alat
yang digunakan terbuat dari kayu atau plastic berbentuk miripperahu dengan
panjang sekitar 75 cm dan lebar 15 cm. pada kedua ujungnya terdapat lubang yang
disebut induk. Diantara kedua nya terdapat lubang yang lebih kecil dan induknya
berdiameter kira-kira 5 cm. setiap deret berjumlah 7 lubang. Pada setiap lubang
kecil tersebut di isi dengan kerang atau biji-bijian sebanyak 7 buah.
Cara bermainnya adalah
dengan mengambil biji-bijian yang ada di lubang bagian sisi milik kita kemudian
mengisi biji-bijian tersebut satu-persatu kelubang yang dilalui termasuk lubang
induk milik kita (lubang induk sebelah kiri) kecuali lubang induk milik lawan,
jika biji terakhir jatuh dilubang yang terdapat biji-bijian lain maka biji-bijian
tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya. Begitu
seterusnya sampai biji terakhir jatuh kelubang yang kosong. Jika biji terakhir
tadi jatuh pada lubang yang kosong maka giliran pemain lawan yang melakukan
permainan. Permainan ini brakhir jika biji-bijian yang terdapat pada lubang
yang kecil telah habis dikumpulkan. Pemenangnya adalah anak yang paling banyak
mengumpulkan biji-bijian kelubang induk miliknya. Permainan ini merupakan
sarana untuk mengatur strategi dan kecermatan.
Dengan adanya permainan congklak, anak tunagrahita akan medapatkan lebih manfaatnya.
Selain sebagai alat peraga pembelajaran matematika, permainan dakon secara
tidak langsung menyumbang kegiatan jasmani adaptif mereka, yaitu melatih
motoric halus mereka. Ketika anak tunagrahita memindahkan biji congklak dari satu lubang ke lubang lain, maka mereka melatih
motoric halus mereka.
Apapun strategi pembelajaran
matematika dalam bentuk permainan guru perlu mengidentifikasi topik-topik yang memerlukan pembinaan
ketrampilan khusus, misalnya fakta dasar penjumlahan atau perkalian, menentukan
tujuan pembelajaran secara jelas, merencanakan kegiatan secara rinci seperti
bentuk permainan, sarana, dan evaluasi
PENUTUP
Kesimpulan
Media pembelajaran menggunakan
permainan dakon merupakan salah satu strategi kunci untuk meningkatkan
kualitas berhitung anak-anak Indonesia, khususnya untuk pada anak tunagrahita
yang selama ini mengalami kesulitan dalam berhitung. Akan tetapi hal ini juga
harus di dukung dengan adanya seorang guru yang harus kreatif dalam membuat dan
menyediakan media yang sesuai dengan pembelajaran di kelas.
Media pembelajaran menggunakan
permainan dakon disamping sangat membantu proses belajar anak tunagrahita dalam
meningkatkan keterampilan berhitung, juga secara ekonomi media pembelajaran ini
sangatlah murah dan terjangkau. Selain itu manfaatnya pun cukup besar dalam
membantu belajar anak tunagrahita dalam proses pembelajaran matematika
khususnya dalam melatih berhitung seorang anak.
Saran
Untuk guru:
(1) Sebaiknya guru mengetahui terlebih dahulu anak tunagrahita yang diajar
termasuk dalam tahap belajar apa, sehingga dengan begitu akan mudah bagi guru
memberikan pembelajaran dan teknik yang sesuai dengan perkembangan belajar
anak. (2)
Guru harus menggunakan media untuk mendukung
pembelajaran, karena perkembangan anak tunagrahita yang sulit untuk
membayangkan dan memikirkan hal-hal yang abstrak sehingga dengan adanya media
akan membantu mereka untuk berilustrasi. (3) Salah satu media yang dapat digunakan ketika
matapelajaran matematika adalah congklak (dakon), permainan tradisional
ini juga tidak hanya mampu digunakan untuk pelajaran berhitung saja namun
sebagai upaya untuk melestarikan permainan tradisional asli Indonesia yang
sudah hampir dilupakan.
DAFTAR RUJUKAN
Abaz, Jendral.
2012. Pembelajaran Pra Hitung Pada Anak. (Online), (http://jendralabaz.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-pra-berhitung-pada-anak.html/.7.50.15032013.), diakses 15
maret 2013.
Arif, Zainudin.
1986. Andragogi. Bandung: Angkasa.
Dimyati & Mujiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta
Efendi, M. 2009. Pengantar Anak Berkelainan. Jakarta:
Bumi Askara.
Mangunsong, Frieda,
dkk.
1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP3 UI.
Purwanto, M. Ngalim.1997. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sadiman, S, dkk. 2007. Media Pendidikan ( Pengertian, Pengembangan, danPemanfaatan). Jakarta:
PT. Raja GrafindoPersada.
Sugianto T,
Mayke.1995.
Bermain,
mainan dan permainan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Usman, Moh. Uzer. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar Bahan Kajian PKG, MGBS, MGMP.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wardani, I.G.A.K, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Widodo, Rachmad. 2009. Media Pembelajaran. (Online),(http://wyw1d.wordpress.com/2009/10/12/media-pembelajaran/.7.24.15032013.), diakses 15 Maret 2013.