Jumat, 16 Agustus 2013

PEMANFAATAN PERMAINAN CONGKLAK (DAKON) SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KETRAMPILAN BERHITUNG PADA ANAK TUNAGRAHITA


Tri Ayu Suryani
Universitas Negeri Malang, JL. Semarang 5, Malang 65145

Abstrak: Anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar menghitung bukan karena kerusakan pada organ artikulasinya melainkan mengalami keterbelakangan mental. Saat ini banyak permainan tradisional yang semakin lama semakin menghilang berganti dengan mainan yang lebih modern namun tidak mendidik. Salah satu permainan tradisional yang memiliki manfaat dan dapat di gunakan sebagai media pembelajaran matematika adalah dakon atau congklak khususnya untuk pembelajaran matematika pada tunagrahita. Melalui media permainan dakon diyakini akan meningkatkan sedikit demi sedikit keterampilan berhitung anak tunagrahita.
Kata Kunci: Tunagrahita, ketrampilan berhitung tunagrahita, pembelajaran matematika, permainan dakon.

Abstract: Children who mentally disabled get some difficulties in mathematics not because of the damage of their articulator organs but their mental disorder. Nowadays, there are so many traditional games which no longer exist. Modern games consisting of uneducated values will replace them sooner. One of the traditional games that haveadvantages and can be used as a media for teaching and learning mathematics is dakon or congklak, particularly for mental disability children. Through this media, that it will raisetheir mathematic skill gradually.
Key Words: mental disability, mathematics skill of mental disability children, mathematics teaching, congklak game.

Menurut Hallahan dan Kauffman dalam Wardani (2007), “Tunagrahita adalah kelainan atau hambatan yang mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian dan berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya”.           
Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami kelainan atau hambatan yang mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian dan berlangsung (termanifestasi) pada masa perkembangannya.
Gangguan atau hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita berbeda-beda tingkatan kecerdasannya dan kelainan jasmani yang dialami atau disebut dengan tipe klinis. Terdapat tiga tingkat kecerdasan atau tiga  dalam tunagrahita yaitu (1) mild mental retardation (tunagrahita ringan IQ 70-55), (2) moderate mental retardation (tunagrahita sedang IQ 55-40), Severe mental retardation (tunagrahita berat IQ 40-25), (3)profound mental retardation (IQ 25 kebawah). Sedangkan pengelompokan berdasarkan kelainan jasmani ada lima jenis yaitu down syndrome (mongoloid), kretin (cebol), hydrocepal, microcepal, dan macrocepal. Penyebab mengalami tunagrahita sangatlah beragam.
Faktor genetik dan kromosom, penyebab pada pra kelahiran, penyebab pada saat kelahiran, penyebab-penyebab selama masa perkembangan anak-anak dan remaja juga menjadi beberapa faktor yang menjadi penyebab tunagrahita. Ketunagrahitaan yang terjadi pada masa anak-anak dan remaja adalah adanya penyakit radang selaput otak (meningitis) dan radang otak (encephalitis)yang tidak tertangani dengan baik sehingga mengakibatkan kerusakan otak. Selain itu terjadi kecelakaan yang menyebabkan cedera otak pada masa perkembangan dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Faktor gizi yang jelek atau keracunan dapat juga merusak otak. Hal-hal diatas merupakan penyebab seorang anak dapat mengalami hambatan intelektual atau yang disebut tunagrahita.
Dalam pembelajaran seorang guru dapat melakukan bermacam tindakan yang dapat mengembangkan fungsi fisik, sensomotorik, daya khayal, bina diri, sosialisasi, dan pengembangan intelektual anak tersebut. Oleh sebab itu anak tunagrahita harus mendapatkan pendidikan dan penanganan khusus agar dapat berkembang dan mandiri.
Selain mengalami hambatan kecerdasan juga mengalami kesulitan dalam bahasa dan bicara. Kesulitan ini disebabkan karena anak tunagrahita seringkali tidak dapat mencerna stimulasi verbal maupun nonverbal dari lingkungan. Guru perlu memperhatikan tahap-tahap perkembangan materi yang akan disampaikan pada kegiatan belajar mengajar (KBM) untuk anak tunagrahita. Tahap-tahap ini diperlukan agar kegiatan belajar mengajar (KBM) dapat berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai sebelum kegiatan dimulai. Salah satu cara yaitu dengan melibatkan siswa tersebut aktif dalam proses pembelajaran, di samping itu guru dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan materi diantaranya melalui penggunaan media sebagai alat penunjang keberhasilan dalam pembelajaran.
Faktor perkembangan kognitif mempunyai peranan sangat penting bagi keberhasilan belajar anak, karena sebagian besar pembelajaran di sekolah selalu berhubungan dengan mengingat dan berpikir yang termasuk kegiatan kognitif. Kognitif meliputi proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan dan dimanfaatkan. Anak tunagrahita mempunyai kognitif yang relatif rendah sehingga mereka sangat sulit untuk mengigat pengetahuan yang didapat. Selain kognitif mereka yang rendah mereka juga sulit dalam berbicara dengan orang lain atau pun berbahasa secara baik.
Selain pembelajaran yang melibatkan bahasa, kemampuan yang perlu didapatkan oleh anak tunagrahita adalah pembelajaran berhitung.
Teori kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang beraspek tunggal, melainkan terdiri dari berbagai unsuratau kemampuan yang bersifat khusus (general ability dan special ability). Kemampuan umum dimaksud adalah rangkuman dari berbagai kemampuan pada bidang tertentu, sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang dimiliki pada bidang-bidang tertentu, seperti kemampuan berhitung, bahasa, pengamatan ruang, dan lain-lain (Efendi, 2009: 96).

Kehidupan sehari-hari sangat membutuhkan kemampuan berhitung seseorang untuk memecahkan sesuatu, sehingga anak tunagrahita juga membutuhkan pembelajaran tersebut untuk menunjang kehidupan sehari-harinya. Di sekolah pembelajaran tersebut masuk dalam mata pelajaran matematika atau ilmu berhitung.
Kenyataan yang muncul di lapangan, seorang guru kurang memperhatikan tahapan-tahapan belajar anak khususnya untuk anak tunagrahita. Seorang guru biasanya langsung membawa anak dalam tahap belajar abstrak akibatnya anak mengalami kesulitan karena ada tahap yang dilupakan. Dalam mengajarkan keterampilan berhitung anak tunagrahita sebagaimana dikemukakan oleh Efendi, (2009: 100) bahwa, “Satu hal yang perlu dipahami bagi guru, langkah yang pertama sebelum mengajarkan hal-hal yang lebih besar, sedapatnya diajarkan untuk menyebutkan namanya”. Pendapat tersebut membuktikan bahwa dalam mengajarkan anak tunagrahita dalam keterampilan berhitung harus melalui tahapan-tahapan belajar yang meliputi tiga tahapan yaitu, tahapan konkrit (tahap yang sederhana), semi konkrit (tahap dimana seorang anak ditunjukan dengan benda-benda yang konkrit), dan abstrak (tahap dimana seorang anak belajar dengan simbolis). Kedudukan dan peran berhitung dalam akademik dan kehidupan sangat penting. Oleh karena itu keterampilan berhitung harus dikuasai oleh setiap siswa sejak dini agar siswa menjadi terampil dan dapat menggunakan ilmu hitung dalam kehidupan sehari-hari.
Pelajaran matematika atau berhitung untuk sebagian anak tunagrahita dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan. Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum siap atau ada faktor lain yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar atau ada masalah intrinsik dalam diri siswa, misalnya ada gangguan konsentrasi, gangguan persepsi dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu matematika bahwa di dalam proses keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan kemampuan kognitif untuk berpikir logis dan analitis, “...sehingga bagi yang bermasalah dalam kemampaun kognitifnya maka akan mengalami masalah ketika belajar matematika atau berhitung” (Runtukahu, 1996: 86).
Sebuah proses pembelajaran guru bukanlah satu-satunya yang dapat dijadikan narasumber. Sebab salah satu peran guru adalah dalam proses belajar adalah sebagai fasilitator dan mediator. Konsekuensinya sebagai seorang mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang media pendidikan karena merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Gagnedalam Rachmad (2009) mengartikan, “Media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar”. Fungsi utama dari media adalah untuk membantu terbentuknya persepsi secara benar.
Pemanfaatan media permainan dakon sebagai salah satu media dalam pendidikan telah menjadi hal yang jarang pada saat ini. Peranan dakon dalam kegiatan pembelajaran matematika memberikan peranan yang cukup besar  sebagai salah satu faktor eksternal yang mampu mempengaruhi hasil belajar siswa. Pembelajaran dengan media belajar dakon dapat diberikan kepada semua siswa dengan berbagai macam perbedaan dan kebutuhan. Terutama pada anak tunagrahita.

PEMBAHASAN
Ketrampilan Berhitung Anak Tunagrahita
Bentuk hambatan belajar anak tunagrahita yang berkaitan dengan keterampilan berhitung meliputi semua aspek keterampilan berhitung, mulai dari pengenalan konsep bilangan dan lambang bilangan hingga operasi hitungan.  Anak tunagrahita sedang mengalami kesulitan pada semua aspek keterampilan berhitung disebabkan kecerdasannya yang sangat terbatas sehingga mereka kesulitan untuk mempelajari hal-hal yang bersifat akademik, diantaranya keterampilan berhitung.
Pelajaran matematika atau berhitung untuk sebagian anak tunagrahita dianggap pelajaran yang sulit dan menakutkan. Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum siap atau ada faktor lain yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar atau ada masalah intrinsik dalam diri siswa, misalnya ada gangguan konsentrasi, gangguan persepsi dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu matematika bahwa di dalam proses keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan kemampuan kognitif untuk berpikir logis dan analitis, “...sehingga bagi yang bermasalah dalam kemampaun kognitifnya maka akan mengalami masalah ketika belajar matematika atau berhitung” (Runtukahu, 1996: 86)
Keterampilan matematika atau berhitung tetap harus dipelajari oleh setiap anak agar menjadi bekal hidupnya di masa depan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa hampir dalam setiap kehidupan manusia membutuhkan kemampuan berhitung. Melalui keterampilan berhitung diharapkan anak mampu memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan nyata yang membutuhkan keterampilan matematika atau berhitung.
Bagi anak-anak tunagrahita sedang, mereka juga perlu belajar berhitung. Namun tentunya pelajaran berhitung yang disampaikan kepada anak tunagrahita sedang berbeda dengan pelajaran matematika atau berhitung pada umumnya. Materi pelajaran berhitung bagi anak tunagrahita sedang harus lebih kongkrit dan sesuai dengan kebutuhannya. Jika sesuai dengan hal itu maka mereka pun dapat mengikuti pelajaran berhitung dengan baik.
Akan tetapi, bukan berarti lemah dalam aspek akademik lalu mereka tidak bisa berprestasi baik dalam kegiatan-kegiatan sekolah lainnya. Dengan latihan yang rutin terutama dalam hal-hal yang sifatnya non akademik dan sederhana, mereka masih dapat dilatih dan dapat melakukannya dengan baik. Rahardja (2006).
“Meskipun mereka mengalami hambatan dalam keterampilan berhitung, anak tunagrahita sedang masih dapat dikembangkan potensi/kemampuan berhitungnya melalui media pembelajaran menggunakan permainan congklak”.  Menurut Abaz (2012)
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya meskipun individu mengalami hambatan dalam berhitung akan tetapi individu yang mengalami hambatan tunagrahita sedang juga masih ada kemampuan/potensi yang masih bisa dikembangkan dalam berhitungnya dengan menggunakan permainan congklak

Media pembelajaran congklak
Gagne menyatakan belajar terjadi apabila situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu kewaktu sesudah ia mengalami situasi tadi. Selanjutnya menurut Morgan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai sesuatu hasil dari latihan atau pengalaman (M. NgalimPurwanto, 1997: 84).
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat elemen yang sangat penting yang menjelaskan pengertian tentang belajar yaitu: (a) Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk. (b) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman, dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar, seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
Kata Pembelajaran dipakai sebagai padanan kata dari kata Bahasa Inggris yaitu instruction. Kata instruction mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada pengajaran. Jika kata pengajaran di dalam konteks guru dan murid di ruang kelas (formal), pembelajaran atau instruction mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri guru secara fisik. Oleh karena dalam instruction yang ditekankan adalah proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa kita sebut pembelajaran (Sadiman, 1989: 7)
Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses pembelajaran banyak berakar pada berbagai pandangan dan konsep. Oleh karena itu, perwujudan proses dapat terjadi dalam berbagai model. Bruce Joicedan Marshal Weil mengelompokkan kedalam empat hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran yaitu : (a) Proses Informasi, (b) Perkembangan Pribadi, (c) Interaksi Sosial, (c) Modifikasi Tingkah Laku  (Moh. Uzer Usman, 1995: 1)
Dari Uraian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata media dan proses pembelajaran adalah satu kesatuan  yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam proses pembelajaran. Untuk itu, dalam proses pembelajaran sangat perlu disediakan media atau alat peraga yang efektif dan efisien untuk dapat mengurangi verbalisme siswa dalam memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru.
Untuk menciptakan kegiatan belajar mengajar yang baik, guru dan siswa harus bersama-sama aktif sehingga proses pembelajaran tidak membosankan. Keaktifan siswa meliputi siswa tertarik akan materi pelajaran yang diajarkan oleh guru. Dalam hal keaktifan guru, maka guru harus dapat membangkitkan minat dan mendorong semangat siswa untuk bertanya dan mencoba melakukan sesuatu yang ada hubungannya dengan pelajaran yang dihadapi. Dengan demikian suasana kelas akan lebih terasa hidup karena terjadi komunikasi multi arah antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa.
Media pembelajaran sangat penting pada proses pembelajaran. Guru berperan penting dalam memanfaatkan media dan sumber belajar tersebut, (Dimyati, 2009: 36). Yang penting adalah keterlibatan anak dalam melakukan kegiatan tersebut, bukan prestasi (Mayke, 1995: 92). Karena ketika anak merasa senang maka selanjutnya kegiatan pembelajaran dimungkinkan akan berjalan lancar dan sesuai yang diharapkan. 
Untuk anak tunagrahita media pembelajaran yang sesuai adalah yang berhubungan dengan permainan. Freun berpendapat bahwa bermain merupakan cara seeorang untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan yang kompleks, merugikan, melalui kegiatan bermain perasaan menjadi lega, bebas dan berarti. Mengingat urgensinya bermain untuk anak tunagrahita, dewasa ini aktifitas bermain dikembangkan menjadi play therapy. Terapi permainan yang diperuntukan bagi anak tunagrahita bukan sembarang permainan tetapi harus sesuai kondisi fisik dan psikisnya.
Memilih format belajar pada anak, Dr. Coolie Verner membedakan tiga elemen dalam proses pendidikan, yang mempunyai fungsi yang berbeda (1) Metode, yaitu suatu pengorganisasian peserta untuk tujuan pendidikan. (2) Teknik, yaitu bermacam cara dimana tugas-tugas belajar diatur untuk memfasilitasi belajar. (3) Alat, yaitu segala sesuatu atau kondisi yang didayagunakan untuk meningkatkan teknik dan membuat belajar lebih terarah (Zainudin arif, 1986: 43,44) .Yang  mana Teknik dalam permainan dakon ini sangat lah mudah untuk dilakukan atau bisa dibilang tidak rumit sehingga mudah untuk meningkatkan ketrampilan berhitung. Melihat anak tunagrahita adalah anak yang tidak suka dengan keribetan, kemudian alat dakon ini sangat mudah untuk dipermainkan dan  alat ini bisa mengambangkan ketrampilan berhitung anak.
Permainan dalam pembelajaran matematika disekolah bukan untuk menerangkan melainkan suatu cara atau tehnik untuk mempelajari atau membina ketrampilan dari suatu materi tertentu. Secara umum cocok untuk membantu mempelajari fakta dan ketrampilan. Beberapa pakar pendidikan mengatkan bahwa tujuan utama digunakan permainan dalam pembelajaran matematika adalah untuk memberikan motivasi kepada siswa agar menjadi senang. Apabila guru berniat merencanakan kegiatan permainan matematika dalam pembelajaran, maka guru perlu mengkaji  topic yang tepat untuk kegiatan yang didukung oleh permainan. Dari hasil kajian tersebut guru dapat memilih atau mengidentifikasi permainan yang bertujuan meningkatkan ketrampilan matematika dan digunakan dalam waktu serta situasi yang tepat (Sukayati, 2003: 14).
Alat peraga permainan dakon dapat digunakan siswa untuk memahami operasi hitung terutama penjumlahan dan pengurangan. Selain itu, permainan dakon memiliki manfaat lain yaitu, strategi: dakon menuntut pemain memikirkan pilihan agar bisa memenangkan permainan. Kesabaran: pemain khususnya yang tidak sedang bermain/melangkah harus bersabar menunggu lawannya melakukan kesalahan sehingga tiba gilirannya, pemain yang sedang bermain juga harus bersabar memasukkan satu per satu biji-bijian dalam lubang. Ketelitian: pemain yang sedang bermain harus teliti dalam memasukkan biji dakon satu per satu dalam lubang, sedangkan pemain yang sedang tidak bermain/melanghkah juga harus teliti mengawasi/memastikan biji-bijian di masukkan satu per satu dalam lubang jangan sampai lawan melakukan kecurangan. Dengan begitu congklak melatih motoric sekaligus sensorik.
            Congklak adalah permainan tradisional yang diambil dari bahasa jawa. Dalam bahasa indoneia disebut permainan congkak atau congklak. Congklak adalah lokan yang dipakai untuk permainan, ada bermacam-macam seperti baiduri; putih, dsb. permainan dengan kulit lokan (biji-bijian, dsb.) dan kayu yang bentuknya seperti perahu yang berlubang-lubang (dijawa disebut dakon); buah, biji-bijian (kulit lokan, dsb.) yang dipakai dalam permainan congkak; papan, kayu bentuknya seperti  perahu berlubang-lubang untukk bermain congkak.
            Permainan congkak merupakan permainan yang dimainkan oleh dua orang yang biasanya perempuan. Alat yang digunakan terbuat dari kayu atau plastic berbentuk miripperahu dengan panjang sekitar 75 cm dan lebar 15 cm. pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut induk. Diantara kedua nya terdapat lubang yang lebih kecil dan induknya berdiameter kira-kira 5 cm. setiap deret berjumlah 7 lubang. Pada setiap lubang kecil tersebut di isi dengan kerang atau biji-bijian sebanyak 7 buah.
            Cara bermainnya adalah dengan mengambil biji-bijian yang ada di lubang bagian sisi milik kita kemudian mengisi biji-bijian tersebut satu-persatu kelubang yang dilalui termasuk lubang induk milik kita (lubang induk sebelah kiri) kecuali lubang induk milik lawan, jika biji terakhir jatuh dilubang yang terdapat biji-bijian lain maka biji-bijian tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya. Begitu seterusnya sampai biji terakhir jatuh kelubang yang kosong. Jika biji terakhir tadi jatuh pada lubang yang kosong maka giliran pemain lawan yang melakukan permainan. Permainan ini brakhir jika biji-bijian yang terdapat pada lubang yang kecil telah habis dikumpulkan. Pemenangnya adalah anak yang paling banyak mengumpulkan biji-bijian kelubang induk miliknya. Permainan ini merupakan sarana untuk mengatur strategi dan kecermatan.
Dengan adanya permainan congklak, anak tunagrahita akan medapatkan lebih manfaatnya. Selain sebagai alat peraga pembelajaran matematika, permainan dakon secara tidak langsung menyumbang kegiatan jasmani adaptif mereka, yaitu melatih motoric halus mereka. Ketika anak tunagrahita memindahkan biji congklak dari satu lubang ke lubang lain, maka mereka melatih motoric halus mereka.
            Apapun strategi pembelajaran matematika dalam bentuk permainan guru perlu mengidentifikasi  topik-topik yang memerlukan pembinaan ketrampilan khusus, misalnya fakta dasar penjumlahan atau perkalian, menentukan tujuan pembelajaran secara jelas, merencanakan kegiatan secara rinci seperti bentuk permainan, sarana, dan evaluasi

PENUTUP
Kesimpulan
            Media pembelajaran menggunakan permainan dakon merupakan salah satu strategi kunci untuk meningkatkan kualitas berhitung anak-anak Indonesia, khususnya untuk pada anak tunagrahita yang selama ini mengalami kesulitan dalam berhitung. Akan tetapi hal ini juga harus di dukung dengan adanya seorang guru yang harus kreatif dalam membuat dan menyediakan media yang sesuai dengan pembelajaran di kelas.
            Media pembelajaran menggunakan permainan dakon disamping sangat membantu proses belajar anak tunagrahita dalam meningkatkan keterampilan berhitung, juga secara ekonomi media pembelajaran ini sangatlah murah dan terjangkau. Selain itu manfaatnya pun cukup besar dalam membantu belajar anak tunagrahita dalam proses pembelajaran matematika khususnya dalam melatih berhitung seorang anak.
Saran
Untuk guru: (1) Sebaiknya guru mengetahui terlebih dahulu anak tunagrahita yang diajar termasuk dalam tahap belajar apa, sehingga dengan begitu akan mudah bagi guru memberikan pembelajaran dan teknik yang sesuai dengan perkembangan belajar anak. (2) Guru harus menggunakan media untuk mendukung pembelajaran, karena perkembangan anak tunagrahita yang sulit untuk membayangkan dan memikirkan hal-hal yang abstrak sehingga dengan adanya media akan membantu mereka untuk berilustrasi. (3) Salah satu media yang dapat digunakan ketika matapelajaran matematika adalah congklak (dakon), permainan tradisional ini juga tidak hanya mampu digunakan untuk pelajaran berhitung saja namun sebagai upaya untuk melestarikan permainan tradisional asli Indonesia yang sudah hampir dilupakan.

DAFTAR RUJUKAN
Abaz, Jendral. 2012. Pembelajaran Pra Hitung Pada Anak. (Online), (http://jendralabaz.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-pra-berhitung-pada-anak.html/.7.50.15032013.), diakses 15 maret 2013.
Arif, Zainudin. 1986.  Andragogi. Bandung: Angkasa.
Dimyati & Mujiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Efendi, M. 2009. Pengantar Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Askara.
Mangunsong, Frieda, dkk. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: LPSP3 UI.
Purwanto, M. Ngalim.1997. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sadiman, S, dkk. 2007. Media Pendidikan ( Pengertian, Pengembangan, danPemanfaatan). Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Sugianto T, Mayke.1995. Bermain, mainan dan permainan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Usman, Moh. Uzer. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar Bahan Kajian PKG, MGBS, MGMP. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wardani, I.G.A.K, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Widodo, Rachmad. 2009. Media Pembelajaran. (Online),(http://wyw1d.wordpress.com/2009/10/12/media-pembelajaran/.7.24.15032013.), diakses 15 Maret 2013.